top of page

Being moslem in a non-moslem country


Masih teringat beberapa bulan sebelum keberangkatan, beberapa teman mengungkapkan kekhawatirannya berkaitan dengan hidup di negara non-muslim. Mereka khawatir terutama tentang halal tidaknya makanan/minuman di sana (selalu!) dan hal-hal lainnya seperti keberadaan majlis pengajian hingga puasa sembilan belas jam dan ibadah yang berkaitan dengan Idul Fitri dan Idul Adha.

Terus terang, saya justru tidak memikirkan hal itu! Jika memang sudah niat hijrah ke negara yang seperti itu, maka persoalan-persoalan semacam itu memang sangat mungkin akan dihadapi namun tak usah dihadapi dengan lebay. Lagipula, ada teman-teman muslim yang lain kan disana. Pasti segalanya akan baik-baik saja.

Nyatanya memang semuanya baik-baik saja meski bukan berarti tak ada kendala yang menghampiri. Sebuah masjid kampus - tidak terlalu besar namun amat layak - tersedia bagi kami para kaum muslim di perantauan. Para pelajar Indonesia sendiri juga mempunyai berbagai macam kegiatan pengajian, mulai dari pengajian khusus ihwan/ahwat, pengajian anak-anak, dan pengajian gabungan bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berada di kota ini. Belum lagi ada jaringan ISOC yang merupakan organisasi umat muslim dari seluruh belahan dunia. Kurang apalagi coba?

Terkait makanan halal? Beberapa tempat makan sudah berstatus 'halal'. Halal store, toko yang menjual daging halal juga sudah tersedia di suatu daerah bernama Fenham. Asyik kan?

Tapi, bagian paling seru dari kesemuanya itu adalah tentang sholat. Piknik kadang menjadi sedikit ribet ketika waktu sholat tiba. Jangan pernah berharap ada prayer room atau musholla ala-ala di sebuah kastil atau tempat wisata misalnya. Terlebih jika pikniknya di tempat yang jauh dari kampus sementara jamak qoshor tidak diperbolehkan karena tempat tinggal kita terlalu dekat dari tempat piknik. Well, untuk kasus yang seperti ini, hal paling simpel adalah mencari salah satu sudut paling oke di tempat piknik lalu sholat di sana. Beberapa kali sholat di belakang pintu gerbang sebuah kastil atau halaman berbatu sebuah tempat piknik dilakukan. Sholat dengan menggunakan sepatu atau tanpa mukena dan hanya berbekal coat panjang juga dilakukan. Dalam hati kami - para perantau ini - yang penting adalah sholat!

Seru yang kedua adalah ketika kita piknik di kota yang diduga tidak mempunyai komunitas muslim sehingga sulit mencari makanan yang berstempel halal secara legal. Selama ada fish and chips maka kami aman. Lagipula, fish and chips itu adalah sejenis makanan tidak sehat karena terkadang sangat berminyak namun enaknya luar biasa. Lalu, bagaimana jika tidak ada sesuatu makanan yang terbuat dari ikan? Well...di sini polemiknya! Sebagian dari kami cukup memilih ayam atau sapi (yang penting bukan daging babi). Tapi ada juga yang mending makan di kota asal atau dimanapun juga karena prinsip mereka meski bukan daging babi tapi menyembelihnya kan tidak sesuai syariat. Kalau sudah begini kadang ada suka saja yang menimpali, "Memangnya elu yakin daging ayam di pasar-pasar Indonesia itu halal, bro?"


Kalau sudah begini mending saya melipir deh....



RECENT POSTS:
SEARCH BY TAGS:
No tags yet.
bottom of page