top of page

RdTS: #2 Puasa (19 jam) itu bukan prestasi


Sumber: http://ceramahustadmp3.blogspot.co.uk/2016/05/manfaat-dan-keutamaan-puasa-senin-kamis.html

Hari pertama ketika saya berhasil menyelesaikan puasa 19 jam, timbul rasa bangga. Gimana tidak bangga? 19 jam menahan lapar, haus, dan segala emosi dan merubah jam tidur karena jarak Maghrib dan Subuh yang terlalu dekat - hanya 4 jam - memang membuat puasa di negeri ini terasa lebih istimewa. Luar biasa malah. Apalagi, berbeda dengan Indonesia dimana tempat-tempat makan yang buka siang hari dilengkapi dengan tirai, di sini wangi aroma kopi menguar kemana-mana. Tergoda? Mungkin! Tapi tidak cukup kuat sih untuk membatalkan puasa.

Buka pertama saya setelah puasa adalah semangkuk nasi sop buntut bikinan sendiri. Tanpa kolak, sup buah, es pisang hijau, atau es campur tentu saja. Setelah seharian berkutat dengan setumpuk jurnal, hal terbaik yang bisa dilakukan untuk menyambut buka puasa perdana di tanah seberang ini adalah: memasak sop buntut! Meski begitu, bahagianya terasa lekat di dada. Teringat peristiwa siang tadi ketika kantuk menyerang, maka satu-satunya hal yang dilakukan di workstation adalah menggelar sleeping bag lalu menyelusup ke dalamnya. Tidur.

Sambil menggerogoti tulang ekor sapi, mendadak saya jadi termenung. Empat tahun saya harus menjalani puasa panjang di sini; puasa di musim semi. Seratus dua puluh hari! Tapi, yah mau bagaimana lagi? Ini sudah termasuk paket konsekuensi atas pilihan saya bersekolah di sini. Namun, mendadak saya jadi teringat. Mereka-mereka yang lebih dari seratus dua puluh hari harus menahan lapar dan haus, bahkan tak tahu akan 'berbuka' dengan apa dan kapan. Mereka-mereka yang untuk makan tiga kali sehari saja harus bekerja membanting tulang dan itupun terkadang hasil kerjanya hanya bisa dinikmati untuk sekali makan saja! Menjadi malu lagi ketika mereka kesulitan makan namun kita - dengan tak bersalahnya - melahap sebungkus nasi pecel, setangkup burger, menjilati es krim, dan menikmati kudapan lainnya di depan mereka. Tentu saja tanpa berbagi sedikitpun pada mereka yang mungkin sudah berhari-hari duduk di emperan dan mungkin saja dengan perut super keroncongan karena seharian tak makan.

Sementara saya yang baru puasa 19 jam saja dan bisa berbuka dengan apapun yang saya inginkan sudah merasa bahwa ini semua adalah prestasi....

Juga betapa egoisnya sebenarnya kita ketika, selama bulan puasa, kita selalu meminta untuk dimengerti orang jika kita sedang berpuasa. Pada mereka yang belum tentu bisa makan tiap hari sepanjang tahun, sudahkah kita ngertiin mereka?

Newcastle, 17 Juni 2016

RECENT POSTS:
SEARCH BY TAGS:
No tags yet.
bottom of page